BAB
I
PENDAHULUAN
Pada
zaman serba modern ini, tes IQ menjadi tren di beberapa sekolah di
kota-kota besar. Untuk meningkatkan ”gengsi”, sekolah ramai-ramai
menyeleksi siswanya yang hendak masuk dengan tes IQ. Mereka berteori
bahwa sekolah yang bagus adalah jika siswanya pandai dan paham
terhadap pembelajaran di sekolah serta memiliki kecerdasan IQ diatas
rata-rata. Karena itulah mereka mengadakan tes IQ. Meskipun, mereka
kurang memahami landasan teoritis dan filosofis dalam pengadaan tes
IQ itu, apa kelemahan dan kelebihannya, dan kapan semestinya hal itu
dilakukan. Malangnya lagi, para penjual tes IQ pun seperti kurang
peduli terhadap perkembangan ilmiah tentang teori kecerdasan.
Lengkaplah sudah. Kenyataan demikian, untuk konteks Indonesia,
sepertinya merupakan konsekuensi logis dari krisis paradikmatik dan
epistemologis yang diderita oleh bangsa kita, sebagai akibat dari
hegemoni IQ dan paradigm ilmiah Barat yang positivistik.
Mengenai
masih hegemoniknya teoti kecerdasan IQ memang tidak terlepas dari
latarbelakang historis, ilmiah dan kultural. Secara hiatoris,teori
kecerdasan IQ memang merupakan teori kecerdasan pertama dan sudah
berumur lebih dari 200 tahun, yang dimulai dari frenologi Gall.
Mengacu pada kesimpulan Howard Gardner, temuan-temuan ilmiah bagi
perkembangan teori kecerdasan manusia sesungguhnya juga sudah lama
ditemukan oleh saintis, terutama neuro-saintis, yang berceceran
disana-sini. Sampai akhirnya Howard Gardner sendiri melakukan studi
dengan serius kemudianikenal dengan menyimpulkan bahwa kecerdasan
manusia itun tidak tunggal, tapi majemuk, bahkan tak terbatas.
Belakangan teori kecerdasan Howard Gardner ini dikanal dengan
Multiple Intelligence
(Kecerdasan Majemuk).
BAB
II
PEMBAHASAN
Sejak kecil biasanya seorang anak diharapkan orang tuanya untuk
mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Setelah lulus sekolah, mereka
diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat membantunya meraih
"masa depan yang cerah" dan gaji yang tinggi. Banyak orang
tua bahkan pendidik berpikir bahwa nilai tinggi dan lulus sekolah
merupakan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan kesuksesan. Di
samping itu, jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang
tinggi maka dianggap orang tersebut neniliki peluang unuk meraih
kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Istilah IQ mulai
dikenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Prancis pada awal
abad ke-20. Pada kenyataannya, ada banyak
kasus dimana seseorang yang memiliki
tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi, tersisih dari orang lain
yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ
(intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan
meraih kesuksesan. Akan tetapi, kenyataannya dalam lapangan kerja
yang semakin kompetitif dan spesialistis, membuat tidak seorangpun
individu atau institusi yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus
bekerja sama dalam tim, karenanya setiap orang dituntut untuk
berkemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Ada seseorang anak yang sangat mampu dalam pelajaran logika atau
menghitung khususnya matematika, namun ada juga seorang anak yang
tidak memiliki kecerdasan dakam pelajaran tersebut, namun dia
memiliki potensi misalnya menggambar. Banyak orang berpandangan,
bahwa jika seseorang memiliki kemampuan eksakta atau berhubungan
dengan pelajaran, maka masa depan anak itu akan sukses, karena
memiliki kemampuan untuk menghitung. Padahal setiap kemampuan orang
masing-masing berbeda-beda. Orang yang sangat ahli matematika belum
tentu ahli dalam seni, olahraga, musik dan lain-lain. Bahkan orang
yang sangat pandai dalam pelajaran belum tentu sukses seperti seniman
terkenal yang belum tentu mereka memiliki pendidikan yang tinggi,
bahkan mungkin malah putus sekolah. Seorang psikolog dari Yale
University, Peter Salovey melakukan suatu penelitian, melalui sebuah
tes sederhana dimana anak-anak berusia 4 tahun diundang masuk ke
dalam suatu ruangan dan diberi instruksi sbb, "Siapa yang mau
satu buah permen marshmallow sekarang ini bisa langsung
mendapatkannya (kelompok I), tapi jika ada yang mau menunggu sampai
saya kembali, akan mendapatkan 2 buah permen (kelompok II)."
Kemudian peneliti itu meninggalkan ruangan tersebut Kelompok I
seketika itu juga mengambil marshmallow saat peneliti keluar ruangan.
Kelompok II menunggu sampai peneliti kembali. Kemudian hasil
pengelompokan anak dicatat dan para peneliti menindaklanjuti sampai
dengan anak-anak tersebut tumbuh berkembang memasuki usia sekolah
lanjutan (SLA). Rupanya terjadi perbedaan
yang berarti di antara kedua kelompok anak tersebut. Kelompok anak
yang memperoleh dua buah marshamallow memiliki kemampuan adaptasi
yang lebih baik, lebh populer, berjiwa petualang, percaya diri dan
mandiri daripada kelompok yang pertama. Sedangkan kelompok anak yang
pertama lebih bersifat menyendiri, mudah frustasi, keras kepala,
tidak tahan stres, pemalu dan menghindari tantangan. Ketika kedua
kelompok mengambil tes bakat yang berhubungan dengan pelajaran
akademik sekolah, kelompok II yang mampu bertahan, mendapat nilai
sebesar 210 poin daripada kelompok I (nilai bervariasi mulai dari
yang terendah 200 sampai dengan 800 poin, dengan angka rata-rata 500
poin untuk seluruh murid).
Kemampuan untuk bersikap sesuai dengan
peraturan merupakan bagian dari yang disebut istilah
EQ. Peter menyatakan, bahwa IQ menyebabkan
seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ menyebabkan
seseorang mendapatkan promosi (kenaikan pangkat/jabatan) dalam
pekerjaan itu. Beliau juga menyarankan pentingnya mendefinisikan
dalam dunia yang kompleks ini apa sebenarnya arti menjadi cerdas.
Singkatnya ketika seseorang akan memprediksi sukses yang akan
datang, kekuatan otak sebaimana diukur oleh IQ dari achievement test,
sesungguhnya lebih kecil dibanding kekuatan karakter, atau EQ-nya.
Definisi IQ (Intelligence Quotient) adalah seberapa cerdas seseorang,
sedangkan definisi EQ (Emotional Quotient) adalah seberapa baik
seseorang mempergunakan kecerdasan yang dimilikinya.
B.
Beberapa Kritik Terhadap IQ dan Tesnya
- Kritik Multiple Intelligence (MI) oleh Howard Gardner
Gardner,
dalam bukunya “Frames
of Mind”
(1993), mengkritik tes IQ sebagai buta secara empiric, “blindly
empirical”.
Karena, tes IQ didasarkan semata-mata pada kekuatan dugaan
(predictive
power)
tentang kesuksesan di sekolah dan hanya secara marginal pada sebuah
teori mengenai bagaimana pikiran bekerja. Tidak pernah ada pandangan
tentang proses, tentang bagaimana seseorang memecahkan permasalahan.
Yang ada hanyalah isu tentang apakah seseorang sampai pada jawaban
benar. Kelemahan lainnya adalah bahwa pada tugas tes IQ itu bersifat
mikroskopik, sehingga sering tidak berhubungan antara satu dengan
yang lain, dan Nampak menggunakan pendekatan “shortgun” dalam
mengungkapkan intelek manusia (assessment
of human intellect).
Dalam banyak kasus, tugas-tugas tersebut berjarak dari kehidupan
sehari-hari. Tugas-tugas tersebut terlalu bergantung pada bahasa dan
keterampilan seseorang dalam mendefinisikan kata-kata, dalam
mengetahui fakta-fakta tentang dunia, dalam menemukan
hubungan-hubungan(dan perbedaan-perbedaan) di antara konsep-konsep
verbal.
Kebanyakan
informasi tes kecerdasa itu merefleksikan pengetahuan yang diraih
dari hidup dalam sebuah lingkungan social dan pendidikan. Sebaliknya,
tes kecerdasan jarang sekali mengukur keterampilan dalam
mengasimilasikan informasi baru atau dalam memecahkan masalah-masalah
baru. Tes IQ menyingkapkan hanya sedikit saja potensi seseorang untuk
pertumbuhan selanjutnya.
Masih
menurut Gardner, tes IQ juga mengabaikan aspek biologi, karena
terlalu fokus pada pemecahan masalah logika dan bahasa. Tes psikologi
seperti itu akan gagal dalam melakukan penilaian terhadap kreativitas
tinggi, selain juga tidak akan sensitive terhadap rentan peran
masyarakat. Konsekuansinya, diperlukan fakta-fakta yang dapat
menunjukkan pandangan-pandangan alternative yang dengan tepat
menfokuskan diri pada wilayah-wilayah yang diabaikan oleh tes IQ
tersebut.
- Kritik Emotional Intelligence (EQ) oleh Daniel Goleman
“Setinggi-tingginya,
IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan
sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diissi oleh kekuatan-kekuatan
lain”.
Dengan pernyataan diatas, Goleman benar-benar sedang mengkritik
anggapan bahwa IQ dapat meramalkan kesuksesan seseorang. Menurut
Goleman, statis akhir seseorang ditentukan oleh factor-faktor bukan
IQ melainkan oleh kelas sosial hingga nasib baik. Kecerdasan
akademis-praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak
atau kesempatan yang diciptakan oleh kesulatan-kesulitan hidup.
Bahkan IQ yang tinggi pun tidak mampu menjamin kesejahteraan, gengsi,
atau kebahagiaan hidup. Sementara menurut Goleman, sekolah dan budaya
melakukan sebaliknya, yakni menitikberatkan pada kemampuan akademis
dan mengabaikan kecerdasan emosional yang sangat berpengaruh besar
terhadap nasib kita. Bahkan, sebagai contoh, peringkat pertama di
kelas itu tidak menjadi indikasi tentang bagaimana seseorang akan
berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.
Sebagai
kritik terhadap IQ, Goleman menyatakan bahwa semata-mata IQ yang
tinggi tak kan membuat orang menjadi cerdas. Tanpa kecerdasan
Emosional, kemampuan untuk memahami dan mengelola perasaan tidak akan
sempurna karena emosi
adalah bahan bakar yang sangat diperlukan bagi kekuatan penalaran
otak. Kecakapan emosi itu sendiri mencakup tiga hal penting yaitu:
kemampuan memahami emosi, kemampuan mendengar orang lain dan
bersimpati kepada emosi mereka, juga kemampuan mengekspresikannya
secara produktif.
Orang
yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak
terkendali dan impuls meledak-ledak ketika dia tidak dapat
mengendalikan emosi dari dalam dirinya. Singkatnya, bagaimana mungkin
seorang yang cerdas dapat melakukan hal-hal bodoh kecuali jika ada
permasalahan terhadap aspek emosionalnya.
- Kritik Spiritual Quotient (SQ) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall
Dalam
beberapa segi, kekeringan spiritual ini terjadi sebagai produk dari
IQ manusia yang tinggi. Mereka telah menjauh dari alam dan makhluk
lainnya, juga dari agama dengan penalaran mereka. Menurut Danah Zohar
dan Ian Marshall, IQ atau kecerdasan rasioal saja belum cukup.
Alasan-alasan yang dicari orang untuk hidup tidak semata-mata
rasional dan tidak pula murni emosional. Zohar dan Marshall tidak
menolak manfaat dari IQ, tapi kita masih belum menemukan cara untuk
menjadikan semua itu berharga. Lengkapnya mereka menulis, “kita tak
punya konteks keutuhan bagi hidup kita, suatu aliran makna alami
dimana kita bisa ikut ambil bagian. Dalam loncatan kemajuan teknologi
yang pesat ke depan, kita telah meninggalkan budaya tradisional dan
nilai-nilai yang melekat padanya. IQ kita telah meringankan tenaga
kerja, meningkatkan kesejahteraan manusia, serta menghasilakan
pernak-pernik kecil yang tidak terhitung jumlahnya, yang sebagian di
antaranya justru mengancam diri dan lingkungan kita. Namun kita belum
kita belum mampu menemukan cara untuk menjalankan semuanya itu
berharga.”
Mereka
juga menegaskan bahwa budaya modern itu secara spiritual bodoh, tidak
hanya di Barat, tapi juga di negara-negara yang semakin terpengaruh
oleh Barat. Dikatakan bodoh secara spiritual, karena menurut mereka
kita telah kehilangan nilai-nilai mendasar yang melekat di bumi dan
lingkungan kita. kita melihat, menggunakan, dan mengalami sesuatu
yang hanya bersifat langsung, dapat dilihat dan pragmantis. Kita buta
terhadap tingkatan simbol dan makna lebih dalam. Kita tidak buta
warna, tapi kita buta makna.
Barat
yang meneladani tradisi filsafat Aristoteles telah mendefinisikan
manusia sebagai hewan yang berakal (rational
animal).
Akar manusia sejati terletak dalam akal yang dalam istilah modern,
menurut Zohar dan Marshall, adalah IQ kita dan dalam produk-produk
akal: ilmu pengetahuan, teknologi, logika dan ada pragmantisme. Oleh
karena itu, Zohar dan Marshall seakan menyimpulkan bahwa Barat dan
Asi itu berbeda secara diametral dari segi kualitas spiritual.
Bagi
mereka, dalam IQ Barat ada keunggulan, prestasi, kualitas produk dan
jasa, komitmen, dan pertumbuhan tanpa akhir. Sedangkan dalam SQ Timur
ada cinta, kerendahan hati, pengabdian kepada keluarga, pengabdian
pada dasar keberadaaan itu sendiri, Tuhan. Dalam pemahaman Timur,
yang juga pemahaman Zohar, seorang pemimpin yang penuh pengabdian
merupakan sumber makna dan nilai. Model pemimpin yang penuh
pengabdian, menurut Zohar, adalah Mahatma Gandhi, Ibu Teressa, dan
Nelson Mandela. Mereka adalah para pemimpin yang spiritual besar
sekaligus pengabdi masyarakatnya. Masing-masing telah telah berhasil
“meningkatkan” moralitas, makna, dan pelayanan.
- Kritik Successful Intelligence (SI) oleh Robert J.Stenberg
Menurut
Robert J.Stenberg, dalam Successful
Intelligence,
teori-teori yang mendukung kecerdasan tunggal tidak dapat mengukur
kompleksitas mental manusia. Bagaimanapun, menurutnya, teorinya
mengenai kecerdasan kesuksesan jauh melewati IQ menuju pemahaman.
Jadi, bukan hanya kecerdasan tapi juga kecerdasan kesuksesan
(successful
intelligence)
dalam segala aspeknya.
Selanjutnya
di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan kritis Robert J.Stenberg
atas teori IQ dan tesnya:
“We
sometimes refer to people whose achievement is higher than we would
expect from their IQ as overachievers. Again, the predictor becomes
more important than the achievement itself, and in stead of
acknowledging that there is something wrong with the test, we
conclude that there must be something wrong with the person.”
“Kita
terkadang mengacu kepada orang-orang yang prestasinya lebih tinggi
dari pada apa yang kita harapkan dari IQ mereka sebagai
overachievers.
Lagi,
predicator menjadi lebih penting dari pada prestasi itu sendiri. Dan
sebaliknya, mengenali bahwa di sana ada sesuatu yang salah dengan
tes, kita menyimpulkan pasti ada sesuatu yang salah dengan orang
itu.”
“Reaserch
is done that shows IQ only weakly to predict later outcomes. But in
stead of concluding that IQ is not very important, certain
researchers then strangely conclude that the abilities measured does
not show this. It shows a statistical relation, not a causal one.”
“Penelitian
yang dilakukan menunjukkan bahwa IQ hanya menduga hasil-hasil
belakangan. Sebaaliknya, hal itu menyimpulkan bahwa IQ tidaklah
sangat penting. Para peneliti tertentu lalu dengan aneh menyimpulkan
bahwa kemampuan-kemampuan yang diukur tidaklah menunjukkan ini. Itu
menunjukkan sebuah hubungan statistik, bukan sebuah hubungan kausal.”