Rabu, 23 Mei 2012

Makalah PPD


BAB I
PENDAHULUAN
Pada zaman serba modern ini, tes IQ menjadi tren di beberapa sekolah di kota-kota besar. Untuk meningkatkan ”gengsi”, sekolah ramai-ramai menyeleksi siswanya yang hendak masuk dengan tes IQ. Mereka berteori bahwa sekolah yang bagus adalah jika siswanya pandai dan paham terhadap pembelajaran di sekolah serta memiliki kecerdasan IQ diatas rata-rata. Karena itulah mereka mengadakan tes IQ. Meskipun, mereka kurang memahami landasan teoritis dan filosofis dalam pengadaan tes IQ itu, apa kelemahan dan kelebihannya, dan kapan semestinya hal itu dilakukan. Malangnya lagi, para penjual tes IQ pun seperti kurang peduli terhadap perkembangan ilmiah tentang teori kecerdasan. Lengkaplah sudah. Kenyataan demikian, untuk konteks Indonesia, sepertinya merupakan konsekuensi logis dari krisis paradikmatik dan epistemologis yang diderita oleh bangsa kita, sebagai akibat dari hegemoni IQ dan paradigm ilmiah Barat yang positivistik.
Mengenai masih hegemoniknya teoti kecerdasan IQ memang tidak terlepas dari latarbelakang historis, ilmiah dan kultural. Secara hiatoris,teori kecerdasan IQ memang merupakan teori kecerdasan pertama dan sudah berumur lebih dari 200 tahun, yang dimulai dari frenologi Gall. Mengacu pada kesimpulan Howard Gardner, temuan-temuan ilmiah bagi perkembangan teori kecerdasan manusia sesungguhnya juga sudah lama ditemukan oleh saintis, terutama neuro-saintis, yang berceceran disana-sini. Sampai akhirnya Howard Gardner sendiri melakukan studi dengan serius kemudianikenal dengan menyimpulkan bahwa kecerdasan manusia itun tidak tunggal, tapi majemuk, bahkan tak terbatas. Belakangan teori kecerdasan Howard Gardner ini dikanal dengan Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk).







BAB II
PEMBAHASAN
    1. A. Definisi IQ, Sejarah IQ, Masalah IQ


Sejak kecil biasanya seorang anak diharapkan orang tuanya untuk mempunyai nilai yang bagus di sekolah. Setelah lulus sekolah, mereka diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat membantunya meraih "masa depan yang cerah" dan gaji yang tinggi. Banyak orang tua bahkan pendidik berpikir bahwa nilai tinggi dan lulus sekolah merupakan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan kesuksesan. Di samping itu, jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi maka dianggap orang tersebut neniliki peluang unuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding orang lain. Istilah IQ mulai dikenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Prancis pada awal abad ke-20. Pada kenyataannya, ada banyak kasus dimana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi, tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Akan tetapi, kenyataannya dalam lapangan kerja yang semakin kompetitif dan spesialistis, membuat tidak seorangpun individu atau institusi yang dapat mencapai tujuan mereka tanpa harus bekerja sama dalam tim, karenanya setiap orang dituntut untuk berkemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Ada seseorang anak yang sangat mampu dalam pelajaran logika atau menghitung khususnya matematika, namun ada juga seorang anak yang tidak memiliki kecerdasan dakam pelajaran tersebut, namun dia memiliki potensi misalnya menggambar. Banyak orang berpandangan, bahwa jika seseorang memiliki kemampuan eksakta atau berhubungan dengan pelajaran, maka masa depan anak itu akan sukses, karena memiliki kemampuan untuk menghitung. Padahal setiap kemampuan orang masing-masing berbeda-beda. Orang yang sangat ahli matematika belum tentu ahli dalam seni, olahraga, musik dan lain-lain. Bahkan orang yang sangat pandai dalam pelajaran belum tentu sukses seperti seniman terkenal yang belum tentu mereka memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan mungkin malah putus sekolah. Seorang psikolog dari Yale University, Peter Salovey melakukan suatu penelitian, melalui sebuah tes sederhana dimana anak-anak berusia 4 tahun diundang masuk ke dalam suatu ruangan dan diberi instruksi sbb, "Siapa yang mau satu buah permen marshmallow sekarang ini bisa langsung mendapatkannya (kelompok I), tapi jika ada yang mau menunggu sampai saya kembali, akan mendapatkan 2 buah permen (kelompok II)." Kemudian peneliti itu meninggalkan ruangan tersebut Kelompok I seketika itu juga mengambil marshmallow saat peneliti keluar ruangan. Kelompok II menunggu sampai peneliti kembali. Kemudian hasil pengelompokan anak dicatat dan para peneliti menindaklanjuti sampai dengan anak-anak tersebut tumbuh berkembang memasuki usia sekolah lanjutan (SLA). Rupanya terjadi perbedaan yang berarti di antara kedua kelompok anak tersebut. Kelompok anak yang memperoleh dua buah marshamallow memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik, lebh populer, berjiwa petualang, percaya diri dan mandiri daripada kelompok yang pertama. Sedangkan kelompok anak yang pertama lebih bersifat menyendiri, mudah frustasi, keras kepala, tidak tahan stres, pemalu dan menghindari tantangan. Ketika kedua kelompok mengambil tes bakat yang berhubungan dengan pelajaran akademik sekolah, kelompok II yang mampu bertahan, mendapat nilai sebesar 210 poin daripada kelompok I (nilai bervariasi mulai dari yang terendah 200 sampai dengan 800 poin, dengan angka rata-rata 500 poin untuk seluruh murid).
Kemampuan untuk bersikap sesuai dengan peraturan merupakan bagian dari yang disebut istilah EQ. Peter menyatakan, bahwa IQ menyebabkan seseorang mendapat suatu pekerjaan, sedangkan EQ menyebabkan seseorang mendapatkan promosi (kenaikan pangkat/jabatan) dalam pekerjaan itu. Beliau juga menyarankan pentingnya mendefinisikan dalam dunia yang kompleks ini apa sebenarnya arti menjadi cerdas. Singkatnya ketika seseorang akan memprediksi sukses yang akan datang, kekuatan otak sebaimana diukur oleh IQ dari achievement test, sesungguhnya lebih kecil dibanding kekuatan karakter, atau EQ-nya. Definisi IQ (Intelligence Quotient) adalah seberapa cerdas seseorang, sedangkan definisi EQ (Emotional Quotient) adalah seberapa baik seseorang mempergunakan kecerdasan yang dimilikinya.





B. Beberapa Kritik Terhadap IQ dan Tesnya
  1. Kritik Multiple Intelligence (MI) oleh Howard Gardner
Gardner, dalam bukunya “Frames of Mind” (1993), mengkritik tes IQ sebagai buta secara empiric, “blindly empirical”. Karena, tes IQ didasarkan semata-mata pada kekuatan dugaan (predictive power) tentang kesuksesan di sekolah dan hanya secara marginal pada sebuah teori mengenai bagaimana pikiran bekerja. Tidak pernah ada pandangan tentang proses, tentang bagaimana seseorang memecahkan permasalahan. Yang ada hanyalah isu tentang apakah seseorang sampai pada jawaban benar. Kelemahan lainnya adalah bahwa pada tugas tes IQ itu bersifat mikroskopik, sehingga sering tidak berhubungan antara satu dengan yang lain, dan Nampak menggunakan pendekatan “shortgun” dalam mengungkapkan intelek manusia (assessment of human intellect). Dalam banyak kasus, tugas-tugas tersebut berjarak dari kehidupan sehari-hari. Tugas-tugas tersebut terlalu bergantung pada bahasa dan keterampilan seseorang dalam mendefinisikan kata-kata, dalam mengetahui fakta-fakta tentang dunia, dalam menemukan hubungan-hubungan(dan perbedaan-perbedaan) di antara konsep-konsep verbal.
Kebanyakan informasi tes kecerdasa itu merefleksikan pengetahuan yang diraih dari hidup dalam sebuah lingkungan social dan pendidikan. Sebaliknya, tes kecerdasan jarang sekali mengukur keterampilan dalam mengasimilasikan informasi baru atau dalam memecahkan masalah-masalah baru. Tes IQ menyingkapkan hanya sedikit saja potensi seseorang untuk pertumbuhan selanjutnya.
Masih menurut Gardner, tes IQ juga mengabaikan aspek biologi, karena terlalu fokus pada pemecahan masalah logika dan bahasa. Tes psikologi seperti itu akan gagal dalam melakukan penilaian terhadap kreativitas tinggi, selain juga tidak akan sensitive terhadap rentan peran masyarakat. Konsekuansinya, diperlukan fakta-fakta yang dapat menunjukkan pandangan-pandangan alternative yang dengan tepat menfokuskan diri pada wilayah-wilayah yang diabaikan oleh tes IQ tersebut.




  1. Kritik Emotional Intelligence (EQ) oleh Daniel Goleman
Setinggi-tingginya, IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diissi oleh kekuatan-kekuatan lain”. Dengan pernyataan diatas, Goleman benar-benar sedang mengkritik anggapan bahwa IQ dapat meramalkan kesuksesan seseorang. Menurut Goleman, statis akhir seseorang ditentukan oleh factor-faktor bukan IQ melainkan oleh kelas sosial hingga nasib baik. Kecerdasan akademis-praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang diciptakan oleh kesulatan-kesulitan hidup. Bahkan IQ yang tinggi pun tidak mampu menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup. Sementara menurut Goleman, sekolah dan budaya melakukan sebaliknya, yakni menitikberatkan pada kemampuan akademis dan mengabaikan kecerdasan emosional yang sangat berpengaruh besar terhadap nasib kita. Bahkan, sebagai contoh, peringkat pertama di kelas itu tidak menjadi indikasi tentang bagaimana seseorang akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.
Sebagai kritik terhadap IQ, Goleman menyatakan bahwa semata-mata IQ yang tinggi tak kan membuat orang menjadi cerdas. Tanpa kecerdasan Emosional, kemampuan untuk memahami dan mengelola perasaan tidak akan sempurna karena emosi adalah bahan bakar yang sangat diperlukan bagi kekuatan penalaran otak. Kecakapan emosi itu sendiri mencakup tiga hal penting yaitu: kemampuan memahami emosi, kemampuan mendengar orang lain dan bersimpati kepada emosi mereka, juga kemampuan mengekspresikannya secara produktif.
Orang yang paling cerdas di antara kita dapat terperosok ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak ketika dia tidak dapat mengendalikan emosi dari dalam dirinya. Singkatnya, bagaimana mungkin seorang yang cerdas dapat melakukan hal-hal bodoh kecuali jika ada permasalahan terhadap aspek emosionalnya.





  1. Kritik Spiritual Quotient (SQ) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall
Dalam beberapa segi, kekeringan spiritual ini terjadi sebagai produk dari IQ manusia yang tinggi. Mereka telah menjauh dari alam dan makhluk lainnya, juga dari agama dengan penalaran mereka. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, IQ atau kecerdasan rasioal saja belum cukup. Alasan-alasan yang dicari orang untuk hidup tidak semata-mata rasional dan tidak pula murni emosional. Zohar dan Marshall tidak menolak manfaat dari IQ, tapi kita masih belum menemukan cara untuk menjadikan semua itu berharga. Lengkapnya mereka menulis, “kita tak punya konteks keutuhan bagi hidup kita, suatu aliran makna alami dimana kita bisa ikut ambil bagian. Dalam loncatan kemajuan teknologi yang pesat ke depan, kita telah meninggalkan budaya tradisional dan nilai-nilai yang melekat padanya. IQ kita telah meringankan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan manusia, serta menghasilakan pernak-pernik kecil yang tidak terhitung jumlahnya, yang sebagian di antaranya justru mengancam diri dan lingkungan kita. Namun kita belum kita belum mampu menemukan cara untuk menjalankan semuanya itu berharga.”
Mereka juga menegaskan bahwa budaya modern itu secara spiritual bodoh, tidak hanya di Barat, tapi juga di negara-negara yang semakin terpengaruh oleh Barat. Dikatakan bodoh secara spiritual, karena menurut mereka kita telah kehilangan nilai-nilai mendasar yang melekat di bumi dan lingkungan kita. kita melihat, menggunakan, dan mengalami sesuatu yang hanya bersifat langsung, dapat dilihat dan pragmantis. Kita buta terhadap tingkatan simbol dan makna lebih dalam. Kita tidak buta warna, tapi kita buta makna.
Barat yang meneladani tradisi filsafat Aristoteles telah mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal (rational animal). Akar manusia sejati terletak dalam akal yang dalam istilah modern, menurut Zohar dan Marshall, adalah IQ kita dan dalam produk-produk akal: ilmu pengetahuan, teknologi, logika dan ada pragmantisme. Oleh karena itu, Zohar dan Marshall seakan menyimpulkan bahwa Barat dan Asi itu berbeda secara diametral dari segi kualitas spiritual.

Bagi mereka, dalam IQ Barat ada keunggulan, prestasi, kualitas produk dan jasa, komitmen, dan pertumbuhan tanpa akhir. Sedangkan dalam SQ Timur ada cinta, kerendahan hati, pengabdian kepada keluarga, pengabdian pada dasar keberadaaan itu sendiri, Tuhan. Dalam pemahaman Timur, yang juga pemahaman Zohar, seorang pemimpin yang penuh pengabdian merupakan sumber makna dan nilai. Model pemimpin yang penuh pengabdian, menurut Zohar, adalah Mahatma Gandhi, Ibu Teressa, dan Nelson Mandela. Mereka adalah para pemimpin yang spiritual besar sekaligus pengabdi masyarakatnya. Masing-masing telah telah berhasil “meningkatkan” moralitas, makna, dan pelayanan.
















  1. Kritik Successful Intelligence (SI) oleh Robert J.Stenberg
Menurut Robert J.Stenberg, dalam Successful Intelligence, teori-teori yang mendukung kecerdasan tunggal tidak dapat mengukur kompleksitas mental manusia. Bagaimanapun, menurutnya, teorinya mengenai kecerdasan kesuksesan jauh melewati IQ menuju pemahaman. Jadi, bukan hanya kecerdasan tapi juga kecerdasan kesuksesan (successful intelligence) dalam segala aspeknya.
Selanjutnya di bawah ini adalah pernyataan-pernyataan kritis Robert J.Stenberg atas teori IQ dan tesnya:
We sometimes refer to people whose achievement is higher than we would expect from their IQ as overachievers. Again, the predictor becomes more important than the achievement itself, and in stead of acknowledging that there is something wrong with the test, we conclude that there must be something wrong with the person.”
Kita terkadang mengacu kepada orang-orang yang prestasinya lebih tinggi dari pada apa yang kita harapkan dari IQ mereka sebagai overachievers. Lagi, predicator menjadi lebih penting dari pada prestasi itu sendiri. Dan sebaliknya, mengenali bahwa di sana ada sesuatu yang salah dengan tes, kita menyimpulkan pasti ada sesuatu yang salah dengan orang itu.”
Reaserch is done that shows IQ only weakly to predict later outcomes. But in stead of concluding that IQ is not very important, certain researchers then strangely conclude that the abilities measured does not show this. It shows a statistical relation, not a causal one.”
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa IQ hanya menduga hasil-hasil belakangan. Sebaaliknya, hal itu menyimpulkan bahwa IQ tidaklah sangat penting. Para peneliti tertentu lalu dengan aneh menyimpulkan bahwa kemampuan-kemampuan yang diukur tidaklah menunjukkan ini. Itu menunjukkan sebuah hubungan statistik, bukan sebuah hubungan kausal.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar